Sabtu, 26 September 2009

MAKNA LEBARAN TAHUN 2009

Oleh: Sparta

Lebaran tahun 1430H ini yang jatuh hari minggu tanggal 20 September 2009 memang telah berlalu, namun bagi sebagian orang masih tetap belum usai. Hal ini karena masih banyak hal yang harus diperbuat dalam lebaran ini. Hiruk pikuk lebaran terutama suasana mudik mulai reda. Banyak hal yang dapat kita hayati dari kejadian dan suasan lebaran tahun ini. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi menjelang, saat dan sesudah lebaran membuat kita merenungi makna lebaran kali ini dengan interprestasi yang berbeda. Lebaran dimaknai sebagai hari kemenangan bagi orang telah berpuasa selama satu bulan penuh. Lebaran dimaknai sebagai hari kegembiraan karena telah terlepas dari tekanan aturan ketat tentang puasa. Bagi orang memaknai puasa dengan cara ini adalah orang-oarang yang menggap pausa sebagai beban. Banyak makna yang dapat diambil dari hari lebaran tahun 2009 dan sebelum-belumnya.

Suasana lebaran tahun ini, bagi saya terasa lain.. tidak ada suasana deru kendaraan saya melintasi kesunyian jalan lintas Sumatera. Saya memang sangat hobi memnyetir mobil jarak jauh terutama ke Sumetara. Kesunyian jalan, canda anak-anak saya di dalam kendaraan selama perjalanan menuju tempat asal saya membuat keletiahan dan kejenuhan membawa kendaraan sepanjang 1500 km tidak terasa. Namun lebaran kali ini saya cukup di Jakarta aja..tidak kemana-kemana. Kami hanya mengunjungi saudara terdekat saja. Karena kesibukan, kadang-kdang saudara terdekat hanya bisa ketemu 3 s/d 6 bulan saja. Lebaran inilah puncak sirahturahmi itu terjalin. Terkadang dengan suadara kita hanya bisa ketemu satu kali setahun.

Ketidak hadirian kami berlebaran di tanah asal membuat saya tidak bertemu dengan orang yang telah melahirkan saya. Pupus sudah harapan orang tua dan saya untuk bisa bertemu muka di hari yang fitri tersebut. Sudah setahun beliau menunggu kedatangan saya. Meskipun di hari biasa saya pernah pulang, namun kepulangan saya di hari fitri sangatlah di tunggu oleh kedua orang tua dan saudara-saudara saya. Hari lebaran begitu besar maknanya bagi orang tua saya. Pada usia beliau saat ini, tentu saja selalu ada kekuatiran apakah lebaran tahun depan masih dapat mereka hadiri atau tidak. Kondisi ini menambah kenyakinan saya bahwa apa yang kita rencanakan tidaklah selalu akan dapat terwujud. Sebagai hamba Allah, kita hanya berusaha ke arah itu, segalanya apa yang terjadi hanya Allah lah yang maha kuasa mengaturnya.

Kembali ke suasana lebaran kali ini. Peristiwa besar yang terjadi seperti penangkapan gembong teroris, penetapan tersangka pinpinan KPK, penerbitan Perpu penggantian sementara pimpinan KPK, proses pergantian ketua Golkar dan sebagainya membuat kita bertanya ada apa ini semuanya? Ternyata lebaran tidak disikapi dengan sifat menahan diri..tidak peduli apakah susanan lebaran atau tidak..semuanya dianggap sama saja....

Pada suatu kali saya membaca ulasan makna lebaran di salah satu koran utama di negeri ini. Saya cukup terkejut juga. Lebaran dimaknai sebagai hari kesuksesan duniawi. Hari dimana mereka dapat menunjukkan siapa ia, sehingga publik bisa menilai mereka adalah orang yang patut diperhitungkan dan dihormati. bagi mereka, Nilai lebih di mata manusia lebih penting daripada nilai lebih dimata penciptanya. Atau mereka tidak tahu bahwa Allah maha melihat, maha tahu dan maha segalanya.

Suasana pasca lebaran, sesuai tradisi, acara halal bihalal akan mewarnai disetiap kelompok masyakarat, baik diperkantoran maupun dikelompok sosial lainnya. Acara halal bihalal ini kadang hanyalah bersifat seremonial saja. Hanya sekedar untuk bersalaman saja... dalam Islam acara halal bihalal ini memang tidak ada.

Jumat, 25 September 2009

NASIB HISTORICAL COST KINI DALAM PENGUKURAN AKUNTANSI

Oleh: Sparta

Perubahan iklim ekonomi, kenaikan harga yang tidak akan pernah turun, telah membuat pengukuran akuntansi menggunakan prinsip historical cost menjadi mulai dipertanyakan. Sudah lama kritikan pengukuran akuntansi dengan prinsip ini dipertanyakan oleh pelaku pasar modal. Penurunan kandungan sumber daya alam seiring meningkatnya populasi manusia sebagai makluk utama di muka bumi ini yang ikut andil dalam penurunan potensi sumber daya alam tersebut, telah membuktikan bahwa penurunan harga sangat sulit terjadi ataupun harga yang stabil. Penggunaan Historical cost dalam pengukuran akuntansi lambat laun menjadi tidak relevan lagi. Hasil pengukuran dengan prinsip ini tidak up to date,.. informasi akuntansi yang dihasilkan akan menjadi tidak ada gunanya. Informasi akuntansi lambat laun apabila tidak dilakukan perubahan dalam prinsip pengukuran akan ditinggal pergi oleh pengguna. Kalaulah hal ini terjadi, timbul pertanyaan, untuk apa akuntan?

Dalam standar akuntansi indonesia, konsep pengukuran aset, utang dan ekuitas dicantumkan dalam Kerangka Dasar Dalam Penyusunan Laporan Keuangan yang dikenal dengan singkatan KDDPLK yang merupakan bagian dari isi Standar Akuntansi Indonesia (SAK). Dalam pengukuran aset, menganut konsep multiple measurement. Artinya pengukuran aset tidak hanya satu konsep pengukuran saja dalam hal ini historical cost, tetapi dapat juga menggunakan current cost, future value, net realizable value, market value, dan replacement cost. Untuk Aktiva tetap, dalam PSAK 16 yang lama, pengukuran aktiva tetap masih menggunakan historical cost. Tentu saja pengukuran ini tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. IAI melalui Kompartemen Standar Akuntansi, telah melakukan revisi PSAK 16 (revisi 2007) tentang aktiva tetap. Revisi terutama terkait dengan dasar pengukuran aktiva tetap, dapat menggunakan dua alternatif yaitu cost base atau fair value base. Cost base digunakan dengan mengacu pada harga historis (saat perolehan aset tersebut), sedangkan fair value base mengacu pada harga sekarang dari aset tetap tersebut. Masing-masing alternatif pengukuran aset di laporan keuangan memberikan konsekwensi ekonomi yang berbeda bagi perusahaan, manajemen, investor dan kreditor.

Meskipun memberikan konsekwensi ekonomi yang berbeda bagi stake holder, pemberian dua alternatif dasar pengukuran aset tetap akan menimbulkan masalah komparatif, relevansi dan kehandalan pengukuran laporan keuangan, serta memberikan konsekwensi pajak bagi perusahaan. Penerapan fair value base akan dihadapkan pada kendala objektivitas dan evidensi pengukuran aset tersebut....Perlu bantuan pihak III yang sangat independen dalam penerapan fair value base, agar pengukuran-nya tidak subjektif dan kehandalan dapat terjamin. Dengan demikian kita perlu melihat sejauh mana kesiapan lembaga penilai untuk dapat dihandalkan dalam hal ini. Semoga saja.....paling tidak IAI telah mengikuti perubahan zaman dan tekanan pasar dengan mengadopsi IFRS terkait dengan aset tetap....

WAJAH PERSAINGAN PERGURUAN TINGGI KITA - A LOSERS’ GAME

Oleh: Budi Frensidy

Lektor Kepala Tetap FEUI(Dimuat di Manajemen Usahawan Indonesia Agustus 2007).



Komentar dari saya (sparta) tentang tulisan beliau, sbb:Beliau adalah dosen dan rekan saya sesama pengajar di Ektensi FEUI. Tulisan Beliau ini patut dibaca oleh rekan- rekan dosen diseluruh Indonesia dan termasuk juga buat mahasiswa untuk mengetahui posisi dan nasib guru serta almamaternya.Tulisan beliau merupakan tulisan yang sangat-sangat realistis dan fenomena riil yang terjadi dilingkungan PT Indonesia. Pak Budi, tulisan ini betul-betul sangat realistik dan menunjukkan fenomena yang sesungguhnya. apa yang bapak tulis dalam tulisan ini betul-betul fakta yang saya temukan selama berkecimpung di perguruan tinggi sejak tahun 1987 sampai dengan sekarang, 2009, dan saya dapat membandingkan bagaimana kondisi real PT dan segenap almamaternya di Indonesia dengan pelaku dunia praktek bisnis, terutama dari sisi kesejahteraan dan idealisme nya. Tulisan Bapak sangat patut di baca oleh rekan-rekan dosen diseluruh Indonesia (PTN dan PTS) dan juga patut dibaca oleh mahasiswa untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kondisi riil alamamater mereka dan nasib dosen/guru mereka. Meskipun anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari total APBN, namun jumlah tidak menyentuh pada kesejahteraan tetap secara merata bagi seluruh dosen. tambahan dana pendidikan yang cukup besar ini hanyalah diperuntukan untuk proyek-proyek yang bersifat temporar bukan pada peningkatan tunjangan tetap bagi seluruh dosen dan guru. meskipun ada serdos, tetapi itu hanya menambah daftar panjang kekecewaan dan ketidakadilan bagi guru dan dosen. faktor like and dislike masih sangat kental dalam pemilihan dosen yang diserdos dalam PT tersebut.. semoga tulisan apak dapat menyentuh nurani penentu kebijakan di negeri ini. Selamat pak budi teruslah menulis dengan nurani dan independent... semoga cepat jadi guru besarnya dan menjadi dosen saya lagi..he..he...Selamat membaca tulisan beliau di bawah ini.

Abstract:
Tempo magazine survey of users and recruiters from December 2006 to January 2007 reported that University of Indonesia (UI) was rated the best university in Indonesia by users, followed by ITB, UGM, IPB, and ITS. How should we view this survey? First, we should not regard it as a comprehensive and thorough assessment and evaluation of the quality of the Indonesian universities and institutes as there is no assessment of input, process, and facilities. Second, competition among Indonesian universities and institutes is more like a losers’ game than a winners’ game. A winners’ game is like a professional game in sport, where the winner is the party with the better strategy and techniques. Points are earned through excellence because the winner performs better than the opponent. Conversely, in a losers’ game; it is like an amateur game, where points of victory are obtained through opponent’s own mistakes. In a losers’ game, the party with fewer mistakes will be the winner.
Key words: losers’ game, etika pendidikan, rangking PT versi Tempo dan THES, idealisme, biaya pendidikan.

Sebagai staf pengajar tetap UI, saya mestinya bangga membaca pemeringkatan PT (perguruan tinggi) di negeri ini menurut pengguna tenaga kerja dan perekrut yang dilakukan dan dirilis Tempo beberapa waktu lalu. Dengan nilai 14,54, UI menduduki peringkat pertama disusul ITB dengan nilai 13,27, UGM 11,59, IPB 11,37, dan ITS di peringkat kelima dengan nilai 9,46. Bagaimanakah sebaiknya kita menyikapi pemeringkatan ini? Pertama, kita harus menerima ini sebagai penilaian berdasarkan para pengguna dan perekrut dan bukan pemeringkatan yang komprehensif karena tidak mempertimbangkan input-proses-output dan fasilitas penunjang lainnya. Kedua, persaingan PT-PT kita yang jumlahnya tidak kurang dari 2700 buah menjadi yang terbaik lebih menyerupai the losers’ game daripada the winners’ game.

The losers’ game
Dalam olah raga, kita mengenal dua macam permainan. Yang pertama adalah permainan atau pertandingan para pemenang atau the winners’ game dan yang kedua adalah the losers’ game atau pertandingan para mediocre. The winners’ game adalah seperti pertandingan para profesional yang kita saksikan di TV dimana pemenang adalah yang tampil lebih baik dengan strategi dan stamina yang lebih unggul. Sedangkan the losers’ game adalah seperti pertandingan para amatir dimana pemenang adalah pemain yang melakukan kesalahan lebih sedikit daripada lawannya. Poin kemenangan dalam the losers’ game didapat dari kesalahan lawan dan bukan karena kehebatan si pemenang.Pengamatan saya sebagai asesor BAN (Badan Akreditasi Nasional) – PT selama enam tahun terakhir, mengunjungi puluhan PT seluruh Indonesia dari Medan hingga Jayapura, meyakinkan saya kalau persaingan PT-PT kita mirip seperti the losers’ game. PT terbaik adalah PT yang melakukan kesalahan atau pelanggaran norma/aturan yang paling sedikit. Berikut argumentasi saya.

Kondisi PT-PT Indonesia
PT yang unggul dikenali dari koleksi perpustakaannya yang lengkap dengan buku-buku asli dan sebagian besar berbahasa Inggris. Fasilitas lainnya yang biasanya juga tersedia adalah akses jurnal dan database mahasiswa via internet, peralatan mengajar yang modern seperti absensi terkomputerisasi, built-in LCD projector di setiap ruang kuliah, hot spot, danregistrasi on-line. Kenyataannya, PT-PT yang menawarkan fasilitas seperti itu dapat dihitung dengan jari. Yang sering kita temui, di beberapa PTN terkemuka sekalipun, buku-buku perpustakaan banyak yang sudah out of date dan tidak sedikit buku foto-copyan yang jelas-jelas melanggar UU Hak Cipta. Sedihnya lagi, dosen dan mahasiswa tampak tidak merasa bersalah membawa buku foto-copyan dan buku bajakan di dalam kampus. Fasilitas komputer memang tersedia tetapi dengan rasio yang timpang, jauh di atas 1:10. Perangkat lunak komputer yang digunakan juga banyak yang bajakan. PT-PT seperti ini mana pantas mengklaim dirinya sebagai PT pemenang.

Dilihat dari input-proses-output, juga tidak jauh berbeda walaupun tidak terlalu kasat mata. Jika ditanyakan soal inputnya, semua PT mengatakan melakukan seleksi. Kenyataannya, kecuali SPMB PTN, ujian seleksi sering hanyalah formalitas karena hampir semua pendaftar diterima. Ujian masuk dilakukan sebelum siswa lulus SMA dan sampai beberapa gelombang, termasuk oleh PTN untuk program-program non S-1 reguler. Persyaratan nilai minimum TPA dan TOEFL untuk masuk program S-2 dan S-3 di banyak PT juga hanya aturan di atas kertas. Jika ditanya soal ini, para pejabat PT biasanya akan balik bertanya, “Mengapa orang mau belajar harus ditolak jika kapasitasnya ada?” Kapasitas yang dimaksud sering hanya dilihat dari tersedianya ruang kosong dan kursi-kursinya. Tidak cukup dengan kelas pagi, banyak PTN juga membuka kelas siang dan malam, seperti pabrik dengan tiga shift yang mengejar target produksi.

Sementara itu, PTS yang semakin kesulitan mendapatkan mahasiswa juga tidak kurang akal untuk dapat bertahan dengan cara menawarkan kelas Sabtu-Minggu atau kelas khusus karyawan. Jumlah SKS yang ditawarkan kelas khusus ini adalah sama dengan kelas reguler yaitu 144-150 SKS yang dapat diselesaikan dalam 8 semester. Dengan kata lain, beban SKS untuk kelas karyawan adalah sama dengan kelas reguler yaitu 18 SKS per semester padahal kuliahnya hanya 2 hari saja yaitu Sabtu dan Minggu. Kelas seperti ini sangat bertentangan dengan SK Dirjen Dikti Nomor 28/Dikti/Kep/2002 tentang penyelenggaraan program reguler dan non-reguler yang menyatakan beban studi maksimal untuk pendidikan paruh waktu adalah 9 SKS untuk program sarjana dan 6 SKS untuk program pascasarjana. Pendidikan paruh waktu yang dimaksud tidak terbatas pada kelas akhir pekan tetapi juga kelas yang diadakan hanya pada malam hari. Buat karyawan dan penyelenggara pendidikan, kelas khusus karyawan apalagi yang cuma 2 hari di akhir pekan ini adalah solusi win-win untuk karyawan yang butuh gelar dan institusi PT yang mempunyai wewenang memberikan gelar namun minim dana dan idealisme.

Di tingkat pascasarjana, hampir semua penyelenggara pendidikan magister malam hari dan Sabtu-Minggu, baik PTN maupun PTS, melanggar aturan ini karena memberikan beban 9-15 SKS untuk mahasiswa paruh waktunya. Belum lagi kelas jauh di kota lain yang diselenggarakan PTN-PTN bernama besar dan beberapa PTS yang semakin menjamur. Penyelenggaraan kelas jauh ini dalam bentuk apapun jelas-jelas melanggar aturan Dikti (lihat SK Dirjen Dikti Nomor 306/D/T/2002 dan Surat Dirjen Dikti Nomor 2630/D/T/2000 perihal Penyelenggaran Kelas Jauh). Semakin jelas kan sekarang kalau kompetisi PT di Indonesia lebih menyerupai the losers’ game.

Jika dua puluh tahun lalu, PTN favorit adalah kebanggaan seluruh penduduk kota dan provinsi tempat PTN itu berlokasi, sekarang PTN sering dipandang penuh curiga oleh penyelenggara PTS-PTS lokal. Beberapa penyelenggara PTS gurem bahkan tanpa ragu menuding agresifnya PTN di kotanya yang menyebabkan anjloknya pendaftar ke PTS-nya. Beberapa PTN memang wajar untuk dicurigai karena meningkatkan kapasitas semaunya atau membuka program studi tanpa mempertimbangkan nasib PTS lain yang sudah jauh lebih dulu membuka program studi itu. Contohnya adalah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebuah PTN yang juga membuka program studi manajemen resort and leisure, program studi manajemen pemasaran pariwisata, dan program studi manajemen industri katering.

Bagaimana PTN itu bisa menjelaskan hubungan antara IPS atau fakultas pendidikan dengan program-program studi yang berhubungan dengan perhotelan dan pariwisata di atas? Yang kemudian dilakukan beberapa PTS untuk bertahan adalah menekan biaya pengelolaan seminim mungkin dan menawarkan biaya pendidikan semurah mungkin dengan syarat pembayaran seringan mungkin. Supaya biaya penyelenggaraan rendah, fasilitas sudah tentu akan dikorbankan. Agar terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak sedikit PTS yang memberikan kesempatan mahasiswa membayar bulanan untuk biaya pendidikannya.Jika PTS mediocre menawarkan biaya pendidikan serendah mungkin untuk dapat tetap bertahan, di PTN jumlah mahasiswa terus ditambah, dengan trade-off kualitas, demi memperoleh pendapatan dan memperluas jaringan alumni. Idealisme yang mestinya tumbuh subur di kampus PTN-PTN favorit pelan-pelan mulai langka, dikalahkan pragmatisme dan budaya “aji mumpung” yang semakin merebak. Tanpa adanya idealisme, tidak ada motivasi kuat untuk PT-PT kita bersaing dalam the winners’ game.

Untuk proses, semester pendek atau summer course yang mestinya bersifat opsional seperti di negara lain, di banyak PT kita termasuk PTN favorit dijadikan wajib sehingga satu tahun menjadi tiga semester. Karena sistem trimester dalam satu tahun ini, masa studi normal yang 8 semester menjadi dapat diselesaikan dalam waktu 3 tahun atau bahkan lebih cepat. Beberapa PT malah menawarkan semester pendek selesai hanya dalam dua minggu. Salah satu PTN peringkat atas bahkan menawarkan program D-3 dalam 15 bulan dengan harga premium tentunya. Untuk mengetahui nilai akhir, mahasiswa-mahasiswa PTN favorit sudah tidak kaget kalau dosen akan mengeluarkannya setelah enam bulan ujian semesteran selesai. PT dengan proses seperti ini, kalaupun ikut the winners’ game, akan gugur di babak kualifikasi.

Bicara dosennya, ada banyak PT yang dosennya tidak pernah melakukan penelitian atau membuat karya tulis karena sibuk mengajar untuk ”mengejar setoran” atau karena dosennya adalah cabutan dari orang-orang swasta yang mengajar hanya untuk mencari status dosen atau tambahan penghasilan. Sudah tentu kita harus mengapresiasi orang-orang swasta yang mengajar karena masih punya idealisme untuk memajukan sumber daya manusia Indonesia. Padahal kita semua sepakat kalau ilmu pengetahuan tanpa penelitian akan cepat usang. Dosen di Indonesia bisa terus berkarir tanpa pernah punya karya tulis atau penelitian yang dipublikasikan. Ini sangat jauh berbeda dengan kondisi dosen di negara maju yang sejak dulu sudah menerapkan prinsip 2P yaitu Publish or Perish. Maksudnya adalah, jika ada dosen yang tidak mempublikasikan karya ilmiahnya maka dia harus siap untuk perish (binasa) alias kontraknya sebagai dosen tidak akan diperpanjang.

Ada juga dosen yang karya tulisnya hanya diktat dan modul tanpa statement of authorship (pernyataan bahwa tulisan itu adalah hasil karyanya sendiri). Tidak baik berprasangka buruk tetapi adalah sangat mungkin beberapa diktat dan modul itu adalah jiplakan karena hanya beredar di lingkungan terbatas. Yang lebih parah lagi, dosen menerjemahkan sebuah buku atau kompilasi beberapa buku dan mengklaimnya sebagai buku karyanya. Ironisnya, diktat/modul itu diakui BAN dan Dikti sebagai karya ilmiah dan dapat digunakan dosen untuk naik jabatan. Tanpa adanya kode etik dosen dan penyelenggara PT serta sanksi plagiarisme yang jelas, saya khawatir kalau kampus nantinya menjadi sarang plagiarisme dan pelanggaran berat hak cipta. Sudah waktunya Dikti melarang penggunaan diktat dan modul sebagai pengganti buku teks, bukan malah menganjurkannya. Setahu saya, hampir tidak ada PT bergengsi apalagi tingkat internasional yang bahan kuliahnya dari diktat dan modul yang ditulis oleh dosennya sendiri.Masih soal dosen sebagai tulang punggung sebuah PT. Banyak yang penghasilannya tidak jauh di atas UMR. Dengan remunerasi minim seperti itu, sangat sulit mengharapkan lulusan-lulusan terbaik mau mengabdikan diri menjadi dosen. Yang terjadi kemudian bisa ditebak, PT terutama PTS hanya mengangkat orang-orang kelas dua yang mau menjadi dosen 3dan bukan orang-orang kelas satu yang berkualifikasi akademik tinggi menjadi dosen.

Untuk ”mengejar setoran”, tidak jarang dosen harus mengajar beberapa mata kuliah, kadang harus berpindah dari satu PT ke PT lain. Yang juga memprihatinkan adalah penghasilan dosen-dosen PTS favorit yang biaya pendidikannya mahal pun tidak terlalu menggembirakan, hampir senasib dengan guru-guru sekolah dasar dan menengah unggulan yang iuran sekolahnya selangit. Saya mungkin salah tetapi silahkan Dikti atau Depdiknas memeriksa nilai rata-rata TPA, TOEFL, penghasilan, dan kualitas karya ilmiah, terutama yang beredar di kalangan terbatas, dari para dosen kita. Mulailah dari PT-PT peringkat atas karena PT-PT itulah yang akan mewakili PT Indonesia dalam the winners’ game di tingkat internasional. Adalah kenyataan pahit untuk mengakui penghasilan dosen-dosen kita di bawah penghasilan dosen di Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, dan Filipina.

Bisa dibayangkan kualitas pengajaran oleh dosen yang penghasilannya tidak cukup untuk membuatnya mampu membeli buku baru secara rutin. Untuk pekerjaan profesional bidang apapun, saya percaya pepatah ”If you pay peanuts, you get monkeys.” Hanya dengan menaikkan gaji dosen, PT dapat menarik para lulusan terbaik mau menjadi dosen. Masalahnya, dengan gaji rendah saja, yang melamar jadi dosen harus antri demikian panjangnya. Para penyelenggara PT mestinya sadar atau mereka pura-pura tidak tahu kalau yang antri itu sebagian besar adalah kelas dua atau mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Menurut saya, beginilah kondisinya kalau penyelenggara PT tidak punya idealisme. Dengan kondisi seperti di atas, tidak mengherankan jika PT terbaik kita hanya nomor 6 di Asia Tenggara (versi THES akhir 2006), nomor 37 di tingkat Asia serta nomor 250 di tingkat dunia, dan hanya 4 PTN kita yang masuk dalam 520 PT terbaik dunia. THES atau Times Higher Education Supplement melakukan pemeringkatan ini berdasarkan kualitas riset dengan bobot 60%, survey pengguna (10%), program dan mahasiswa internasional (10%), dan rasio mahasiswa/dosen (20%).

Tabel 1. 10 Perguruan Tinggi Terbaik Dunia menurut THES 2006
Ranking Perguruan Tinggi
1 Harvard University Amerika Serikat
2 University of Cambridge Inggris
3 University of Oxford Inggris
4 Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat
5 Yale University Amerika Serikat
6 Standford University Amerika Serikat
7 California Institute of Technology Amerika Serikat
8 University of California, Berkeley Amerika Serikat
9 Imperial College London Inggris
10 Princeton University Amerika Serikat
Sumber : THES - World University Rankings 2006

Tabel 2. 10 Perguruan Tinggi Terbaik Asia menurut THES 2006
Ranking Perguruan Tinggi Ranking Dunia

1 Peking University 14 China
2 University of Tokyo 19 Jepang
3 National University of Singapore 19 Singapura
4 Tsing Hua University 28 China
5 Kyoto University 29 Jepang 4
6 University of Hong Kong 33 Hong Kong
7 Chinese University of Hong Kong 50 Hong Kong
8 Indian Institute of Technology 57 India
9 Hong Kong University of Science & Technology 58 Hong Kong
10 Nanyang Technological University 61 Singapura
Sumber : THES - World University Rankings 2006

Tabel 3. 10 Perguruan Tinggi Terbaik Asia Tenggara menurut THES 2006
Ranking Perguruan Tinggi Ranking DuniaNegara

1 National University of Singapore 19 Singapura
2 Nanyang Technological University 61 Singapura
3 Chulalongkorn University 161 Thailand
4 Universiti Kebangsaan Malaysia 185 Malaysia
5 University of Malaya 192 Malaysia
6 Universitas Indonesia 250 Indonesia
7 Institut Teknologi Bandung 258 Indonesia
8 University Sains Malaysia 277 Malaysia
9 University Putra Malaysia 292 Malaysia
10 University of the Philippines 299 Filipina
Sumber : THES - World University Rankings 2006

Tabel 4. 10
Perguruan Tinggi Terbaik Indonesia menurut Tempo 2007
Ranking Perguruan Tinggi

1 Universitas Indonesia 14,54
2 Institut Teknologi Bandung 13,27
3 Universitas Gadjah Mada 11,59
4 Institut Pertanian Bogor 11,37
5 Institut Teknologi Sepuluh Nopember 9,46
6 Universitas Airlangga 7,61
7 Universitas Trisakti 7,55
8 Universitas Padjadjaran 6,51
9 Universitas Atmajaya Jakarta 5,37
10 Universitas Diponegoro 4,41

Sumber : Tempo Edisi 14-20 Mei 2007

Akar masalah
Jika input dan proses sudah meragukan, kita tentunya tidak perlu lagi bicara output yang dihasilkan. Pertanyaan yang timbul adalah apa akar permasalahan utamanya dan bagaimana kita harus merombaknya. Jika dibiarkan terus, saya khawatir lulusan PT dalam negeri akan menjadi semakin tertinggal mutunya dibandingkan lulusan luar negeri. Jika dua puluh tahun lalu, banyak orang Malaysia datang ke Indonesia untuk menuntut ilmu, sekarang justru sebaliknya. Ribuan mahasiswa Indonesia setiap tahun pergi ke Malaysia untuk belajar.Akar masalah yang pertama adalah belum adanya etika pendidikan. Sudah waktunya disusun standar etika atau code of conduct untuk profesi dosen dan penyelenggara pendidikan, seperti profesi terhormat lainnya (dokter, akuntan, insinyur, dan lainnya) di Indonesia. Tanpa standar etika dan code of conduct, undang-undang guru dan dosen menjadi kurang membumi. Isu ini, saya pikir, lebih penting daripada isu PT harus menjadi BHP.

Yang kedua adalah hilangnya idealisme di kalangan perguruan tinggi. Mochtar Buchori, pakar pendidikan, pernah mengatakan kalau sah-sah saja untuk PTS berorientasi bisnis selama masih ada idealisme yang mengimbanginya. Pengelolaan PT mulai menjadi masalah jika kemudian idealisme itu hampir tak ada sehingga yang tersisa hanyalah komersialisasi. Pengelolaan PT tidak bisa disamakan seperti menangani sebuah perusahaan komersial.

Yang ketiga adalah tidak tegasnya pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Pendidikan Tinggi menindak PT pelanggar aturan. Kedua instansi itu juga mesti bertanggung jawab terhadap aturan yang membolehkan program studi S-1 yang terakreditasi A untuk membuka program studi S-2 dan S-3 tanpa persyaratan ketat dalam fasilitas kampus, buku, jurnal yang dimiliki, dan dosen tetap berpendidikan S-3 atau guru besar dan karya tulis ilmiahnya. Akibat aturan itu, banyak PT mediocre dapat menyelenggarakan program studi S-3, hanya dengan memenuhi ketentuan minimum dosen tetap yaitu 2 orang guru besar dan 4 orang doktor. Mestinya nilai akreditasi A adalah sebagai necessary condition, dengan fasilitas & kualitas dosen tetap dan karya ilmiahnya sebagai sufficient condition. Program-program studi S-2 dan S-3 yang dibuka ini kemudian akan menerima banyak mahasiswa tanpa persyaratan yang seharusnya seperti nilai minimum TPA dan TOEFL untuk tujuan break-even dan memperluas jaringan alumni. Tidak dapat disalahkan jika mereka yang berkemampuan mediocre memilih PT-PT ini untuk meraih gelar bergengsi S-2 apalagi S-3.

Yang keempat adalah biaya pendidikan tinggi yang dibuat demikian rendah untuk tujuan menarik lebih banyak mahasiswa. Tim Dikti beberapa tahun lalu pernah menghitung kalau unit cost per mahasiswa sosial mestinya tidak kurang dari Rp 15 juta setahun dan lebih besar lagi untuk mahasiswa eksakta. Di lapangan, karena persaingan yang tak sehat dan agresifnya PTN menyerap mahasiswa baru, banyak PTS harus menurunkannya menjadi hanya sebesar Rp 1 juta – Rp 4 juta/tahun rata-ratanya.

PTS dan PTN yang memberikan fasilitas belajar modern, metode pengajaran terbaru, perpustakaan kelas dunia, dan dosen berkualifikasi akademik tinggi dengan jumlah mahasiswa terbatas per kelas (≤ 30 orang) sepantasnya mengenakan biaya tinggi. PTS dan PTN ini paling tidak akan mampu menahan calon mahasiswa yang sedianya akan dikirim ke PT luar negeri oleh orang tuanya. Sayangnya, jumlah PT seperti itu untuk saat ini masih bisa dihitung dengan jari tangan.

Kusmayanto Kadiman, mantan Rektor ITB, pernah mengatakan kalau biaya pendidikan tinggi, jika ingin menjaga mutu, adalah wajar menjadi mahal dan kurang setuju kalau diturunkan untuk tujuan pemerataan. Persoalannya adalah tidak fair jika biaya pendidikan itu semuanya dibebankan ke orang tua mahasiswa. Pemerintah, pemerintah daerah, dan perusahaan pengguna mestinya ikut berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan itu. Bukankah nanti mereka yang akan menerima manfaatnya langsung sebagai pengguna, kalau lulusan PT kita bermutu?

Pemerintah sangat berkepentingan dengan kualitas PT Indonesia peringkat atas karena menurut Dirjen Dikti dalam sambutannya pada simposium pendidikan tinggi di FEUI 12-13 April 2007 lalu, tidak ada negara maju yang tidak mempunyai PT berkualitas internasional. Kemajuan pesat PT-PT Malaysia tidak bisa dilepaskan dari perhatian serius dan subsidi pemerintahnya. PT bermutu adalah mitra dan nara sumber pemerintah dalam usaha menyelesaikan banyak permasalahan yang dihadapi bangsa ini, ucapnya.

Patut disyukuri beberapa organisasi nirlaba dan korporasi sudah mulai menyadari ini sebagai bagian dari corporate social responsibility. Siapa yang tidak bangga dengan Sampoerna Foundation, Eka Tjipta Foundation, Habibie Center, dan beberapa yayasan lain yang konsisten dalam usahanya memajukan sumber daya manusia Indonesia? Di Amerika sana, kita mengenal Ford Foundation, Fullbright, Rockefeller, dan Bill & Melinda Gates Foundation. Jumlah uang yang didonasikan mereka sudah dalam hitungan miliaran rupiah dan miliaran US$ untuk yayasan yang di Amerika. Harapan dan doa saya adalah jumlah korporasi yang tergugah untuk kegiatan filantropi ini ke depan semakin banyak sehingga semakin banyak juga orang berbakat yang tidak mampu secara ekonomi dapat mengeyam pendidikan tinggi bermutu. Yang belum banyak saya lihat adalah komitmen dan kontribusi pemerintah daerah dalam berbagi biaya pendidikan tinggi yang wajarnya mahal ini. Alokasi APBN untuk pendidikan tinggi yang masih minim juga sudah waktunya ditingkatkan kecuali jika pemerintah pusat hanya puas dengan kondisi mediocre seperti saat ini.

PT juga harus kreatif
Yang juga penting untuk diketahui para pejabat PT adalah penerimaan pendidikan yang dibayar mahasiswa mestinya bukan yang utama, apalagi satu-satunya. Sumber dana lain yang dapat dilirik dan digarap PT adalah kegiatan penelitian yang dapat dijual, consulting, menawarkan kursus atau pelatihan kepada umum/institusi, mendirikan unit usaha yang menguntungkan, sponsorship untuk kegiatan dan fasilitas yang ada di kampus, dan penggalangan dana alumni seperti endowment fund di beberapa PT bergengsi di Amerika. Itulah sebabnya, berjiwa kewirausahaan selalu masuk sebagai salah satu persyaratan yang harus dimiliki calon rektor PT-PT peringkat atas.

Sebagai contoh, salah satu fakultas dari PT terbaik di atas mungkin dapat dicontoh karena sudah berhasil melakukan pendanaan dari banyak sumber. Selain dari biaya operasional pendidikan, fakultas itu mempunyai lembaga-lembaga penelitian dan consulting, lab-lab yang menawarkan kursus dan pelatihan, dan unit usaha investasi dan penerbitan buku dan majalah, yang semuanya profit center. Selain itu, masih ada dana abadi dan reksa dana dari para alumni dan simpatisan yang hasilnya digunakan untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu dan peningkatan fasilitas belajar. Ruang kerja, ruang kuliah, lab komputer, dan perpustakaan di fakultas itu tidak tabu untuk menggunakan nama-nama sponsor seperti Ruang BCA, Perpustakaan Indofood, Lab Bank Mandiri, dan Auditorium Eka Tjipta sebagai kontraprestasi atas donasi mereka.Sekarang setelah mengetahui kalau pertandingan antar PT kita hanya kelas the losers’ game, Anda masih bangga dengan alma mater Anda?

Depok, 20 Agustus 2007*
Budi Frensidy : Ketua Program Ekstensi Akuntansi FEUI dan Asesor BAN-PT

Referensi
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Pendidikan Tinggi
Peraturan Pemerintah Nomor 61 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum
Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Adiministrasi Kepegawaian Negara tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 187/U/1998 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36/D/O/2001 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Dosen
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 004/U/2002 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 108/DIKTI/Kep/2001 tentang Pedoman Pembukaan Program Studi dan/atau Jurusan Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 28/DIKTI/Kep/2002 tentang Penyelenggaraan Program Reguler dan Non-Reguler di Perguruan Tinggi Negeri
Surat Dirjen Dikti Nomor 3298/D/T/1999 tentang Upaya Pencegahan Tindakan Plagiat
Surat Dirjen Dikti Nomor 2630/D/T/2000 perihal Penyelenggaran Kelas Jauh
Surat Dirjen Dikti Nomor 1840/D/T/2001 tentang Ketentuan Mengenai Penerimaan Mahasiswa Asing di PTN
Surat Dirjen Dikti Nomor 1931/D/T/2001 tentang Pemberitaan di Media Masa tentang Pembukaan Program Studi di Universitas Jenderal Soedirman yang Belum Mempunyai Ijin
Surat Dirjen Dikti Nomor 2954/D/T/2001 tentang Akuntabilitas Perguruan Tinggi Negeri
Surat Dirjen Dikti Nomor 306/D/T/2002 tentang Kelas Jauh oleh UGM, Unpad, dan ITB
Surat Dirjen Dikti Nomor 982/D/T/2002 tentang Mekanisme Penerimaan Calon Mahasiswa Baru di PTN
Surat Dirjen Dikti Nomor 1859/D/T/2002 tentang Tata Krama dan Kepatutan dalam Hal Penerimaan Mahasiswa Baru di PTN
Surat Dirjen Dikti Nomor 1232/D/T/2003 tentang Citra Perguruan Tinggi Negeri dan BHMN yang terganggu akibat adanya pemberitaan media cetak yang mengarah kepada komersialisasi PTN dan BHMN
Ellis, Charles D. 1995. The Loser’s Game. Financial Analysts Journal: 95-100.www.aacsb.edu (Association to Advance Collegiate Schools of Business)
www.ban-pt.net.idwww.chea.org (Council for Higher Education)www.dikti.orghttp://diplomaekonomi.ugm.ac.id/
www.inqaahe.org (International Network for Quality Assurance Agencies in Higher Education)www.qaa.ac.uk (Quality Assurance Agency)www.stekpi.ac.idwww.topuniversities.comwww.upi.ac.id9