Jumat, 06 November 2009

MENCINTAI DAN BANGGA DENGAN BAHASA DAN MUSIK MINANGKABAU

Oleh: Sparta

Pengantar:
Tulisan ini ditujukan buat teman-teman sekampuang. Tulisan ini dibuat pada 24 Nopember 2008. Mungkin saya perlu mengingat kembali tulisan ini sebagai renungan. selamat membaca.


Suatu kesempatan dalam minggu ketiga Nopember 2008, saya mendapat tugas sebagai assessor dalam proses pemberian sertifikasi profesi bagi direktur Bank Perkreditan Rakyat. Tugas ini telah penulis lakoni sudah hampir tiga tahun sejak bergabung dengan salah satu lembaga pendidikan perbankan di Jakarta. Selesai tugas, saya pulang kerumah dengan mobil tumpangan staf dari bank sentral. Saya baru kenal dengan staf ini karena sama-sama terlibat dalam proses ini dengan tugas yang berbeda. Sambil menikmati perjalanan pulang dari Jl. Thamrin ke Stasiun Kebayoran Lama, kami bercerita tentang banyak hal. Hal yang biasa dilakukan bila kita ikut mobil tumpangan, kita selalu berupaya untuk mengobrol lebih banyak dengan sipemilik kendaraan.

Sampailah pada suatu cerita, beliau menanyakan saya berasal dari mana. Saya sampaikan kepada beliau bahwa saya berasal dari Minang. “oh.. kalau begitu saya mau cerita tentang kesan saya selama di Padang” ujar beliau dengan suara agak setengah kaget. Rupanya ia mempunyai kesan yang tidak pernah dilupakannya selama bertugas di Padang. Ia sudah dua kali bertugas di Padang. Tugas teakhir di Padang yang ia jalani terjadi dalam tahun 2004. Ia ingin berdiskusi dengan saya tentang kesannya itu. “Ada dua hal yang saya tidak habis mengerti mengenai Kota Padang dan Sumbar pada umumnya” ia berujar dengan mimik wajah agak berkerut. “Pertama. Sebagai propinsi yang merupakan daerah tujuan wisata ia tidak habis mengerti kenapa restoran-restoran terkenal di Padang tidak memutar lagu-lagu khas Minang Kabau. Hal ini ia bandingkan dengan restoran-restoran di daerah tujuan wisata lainnya seperti Bandung, Yogja dan daerah lainnya. Biasanya mereka selalu memutar lagu asli daerah setempat seperti lagu sunda dan lagu gending jawa atau keroncong di Yogja. Suasana restoran dengan mengumandangkan lagu-lagu asli daerah setempat memberikan kesan unik tersendiri bagi turis lokal dan mancanegara yang berkunjung ke restoran tersebut. Ia sebenarnya menginginkan suasana lain yang akan didapatinya di restoran Padang tersebut. Tetapi saat ia masuk dan selama menikmati hidangan masakan Padang tak sedikitpun terdengar lagu-lagu kas minang. Hal yang sama ia dapati juga saat makan di restoran besar lainnya di kota Padang dan Bukittinggi. Musik yang diputar di restoran-rstoran tersebut kebanyak lagu-lagu pop Indonesia dan barat serta dangdut. Menurut beliau, alangkah nikmatnya makan masakan padang sambil mendengarkan lagu-lagu asli minangakabau, sehingga nuansa alam dan citra rasa minang sangat terasa…” saya cukup kaget mendengar kesannya ini. Setahu saya, selama sekolah di Padang tahun 70-an sampai saya lulus kuliah 1989 dan berangkat meninggalkan Padang tahun 1991 saya sering mendengar lagu-lagu asli minang berkumandang di restoran-restoran menengah ke bawah. Tetapi untuk restoran menengah ke atas, memang sedikit agak jarang saya mendengar lagu-lagu asli minang. Waktu itu saya tidak terpikir bagaimana pentingnya lagu-lagu asli minang perlu diperdengarkan di restoran-restoran tersebut bagi wisatawan lokal dan mungkin juga bagi wisatawan asing. Tidak terpikir juga bahwa antara musik dan makanan ada hubungannya. Seperti masakan sunda akan lebih nikmat dinikmati apabila di iringi dengan musik khas sunda. Rasanya agak lain citra rasa masakan sunda bila saat menikmati masakan tersebut diiringi dengan lagu batak misalnya Kesan sunda tidak muncul bila musik dan makanan tidak matching.

Saya tidak tahu persis apakah kondisi yang diceritakan teman saya di atas memang betul-betul terjadi atau masih terjadi saat ini. Hampir setiap tahun saya pulang dan beberapa kali saya makan di restoran di kota Padang dan di daerah lainnya seperti Pariaman, Padang Panjang, Bukit Tinggi dan Solok memang agak jarang saya mendengar lagu-lagu minang dikumdangkan dalam rstoran tersebut. Saya pikir karena hampir semua pengunjungnya orang minang, maka musik minang dianggap sudah biasa sehingga mereka kurang berminat lagi untuk mendengarkannya. Tapi munkin analisa saya ini tidak benar. Di tempat-tempat rekreasi, saya sering mendengar lagu-lagu minang dan group-group band dengan penyanyi asli Minang membawakan lagu-lagu minang. Tetapi maaf, yang menonton dan mendengar lagu minang tersebut kebanyakan dari golongan menengah ke bawah. Hal ini terlihat dari penampilan mereka yang dapat ditebak mereka bukan golongan menengah ke atas. Apakah kondisi ini dapat penulis simpulkan bahwa lagu-lagu minang hanya digemari oleh orang minang yang berasal dari kelompok menengah ke bawah saja?. Mudah-mudahan penulis salah. Kalau benar hal itu terjadi maka dapat disimpulkan juga bahwa restoran-restoran besar yang ada di Padang dan Bukittinggi yang sebagian besar pengunjungnya berasal dari kelompok menengah ke atas adalah tidak begitu suka menghidupkan lagu-lagu khas minang. Mereka lebih suka mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia dan Barat sesuai selera pengunjungnya. Hal ini kalu kita bandingkan dengan Jakarta dan kotakota di pulau Jawa tentu berbeda sekali. Dikota ini, restoran-restoran besar selalu memberikan fasilitas hiburan musik khas asli daerah asal masakan tesrebut.

Kesan ia yang kedua, ini terkait dengan nilai kehidupan di Ranah Minang yang kita ketahui selama ini. Nilai kehidupan tersebut selalu bernuansa islami. Namun bayangan itu agak sedikit menjadi tanda tanya bagi teman saya ini pada saat ia dikejutkan dengan kondisi diluar dugaan dia. Saya juga merasa heran kok bisa terjadi seperti itu. Ceritanya begini, masih dalam tugas di Padang tahun 2004, pada saat selesai makan malam ia berencana mau pergi jalan-jalan kearah pantai Padang dari tempat penginapannya yang berada di seberang SMP 2 Padang. (saya tidak tahu untuk apa ia jalan-jalan ke Pantai Padang, mungkin melihat suasana pantai Padang yang terkenal itu) Begitu keluar gerbang hotel ia menyetop sebuah taxi untuk menuju kea rah pantai Padang. Tetapi alangkah kagetnya ketika ia membuka pintu belakang taksi ia melihat didalam taksi sudah ada seorang gadis belia dengan bahasa Indonesia logat minangya menyapa ia dan menawarkan diri kepada teman saya untuk ia temani jalan-jalan malam itu. Sambil menatap heran ia berpikir kok kondisi ini ada di Padang yang notabene kehidupan masyarakatnya sangat islami. Saya mendengar ceritanya juga heran dan mengatakan bahwa itu mungkin kasus. Dan saat sekarang hal itu mungkin tidak atau jarang terjadi di Padang. Tetapi terus terang saja, saya tidak dapat memeberikan komentar banyak karena selama saya hidup di Padang saya tidak mengetahui kondisi seperti itu.

Saya lihat kehidupan masyarakat di Padang terutama pergaulan kaum muda-mudinya jauh lebih sopan dibandingkan dengan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa ini. Namun kondisi pergaulan generasi mudanya saat sekarang saya memang tidak tahu persis karena saya telah menjalani kehidupan di Jakarta sejaka tahun 1991 sampai dengan sekarang. Namun saya berharap kondisi ini tidak umum terjad di Kota Padang dan Sumbar pada umumnya. Pertanyaannya, apakah yang berbuat itu orang asli minang atau bukan?.. Apakah kontrol masyarakat terhadap lingkungan sosialnya sudah mulai melemah? Apakah kepedulian keluarga minang sudah mulai melemah terhadap nilai-nilai islam? Namun sekali lagi penulis nyakin bahwa apa yang ditemukan oleh teman saya yang berasal dari penduduk asli Jakarta hanya sebuah kasus. Dan saat ini saya melihat nilai-nilai Islami dalam kehidupan masyarakat minang saat sekarang mulai digiatkan oleh pemerintahan daerah Tk.I Sumbar. Kegiatan ini mulai terlihat intensif selama pasca ancaman tsunami di Padang setelah tsunami di Aceh beberapa tahun lalu. Kegiatan tersebut antara lain: anjuran (wajib) untuk menggunakan Jilbab bagi anak perempuan di sekolah, adannya program pesantren bagi pelajar selama bulan Ramadhan dan lain sebagainya. Kondisi ini telah merubah suasana kehidupan lebih Islami. Mudah-mudahan kampuang kita terhindar dari bencana yang maha dasyat seperti di Aceh karena kita berusaha keras untuk menjalani kehidupan ini sesuai syariat Islam. Sekali lagi Insya Allah hal itu tidak terjadi. Semoga Allah dapat melindungi nagari kita.

Dari kondisi di atas penulis juga melihat ada kecendrungannya kita masih belum percaya diri untuk menggunakan simbol kedaerahaan. Seperti kurang disukainya musik daerah dan bahasa minang asli untuk digunakan dalam percakapan sehari-hasi di rumah dan menggunakan ejaan minang saat mencantumkan nama nagari dan nama jalan. Dalam hal penggunaan bahasa minang asli di lingkungan keluarga terdapat dua kelompok. Untuk keluarga menengah ke atas dan terdidik, mereka lebih cendrung mendidik anak-anaka mereka untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Bagi mereka bercakap dalam bahasa Indonesia lebih memberikan kesan bahwa mereka adalah keluarga intelek dan berada dibandingkan apabila anak-anak mereka berbicara dalam bahasa minang. Hal ini juga mengejala di percakapan informal dalam acara komunitas mereka.

Bagaimana dengan penggunaan bahasa minang di lingkungan keluarga menengah ke bawah? Dari pengamatan penulis, Lingkungan keluarga ini justru lebih banyak menggunakan bahasa minang dalam percakapan sehari-hari. Bandingkan dengan keluarga di daerah jawa (diluar daerah Jabodetabek). Pada umumnya mereka lebih banyak menggunakan bahasa asli daerah mereka. Mereka tidak merasa risih di anggap keluarga tidak terdidik dan berada apabila menggunakan bahasa Jawa. Mereka juga tidak merasa risih menggunakan bahasa Jawa di lingkungan kantor dan ditempat-tempat umum di daerah Jabodetabek.

Hal sama terjadi juga dalam mencantumkan nama daerah dan nama jalan yang berasal dari ejan asli minang. Misalnya Daerah “Sitinjau Lauik” di Tulis dengan “Sitinjau Laut”. Nama Daerah “Ampek Angkek” ditulis dengan “Empat Angkat”. Kenapa kita tidak menulis nama daerah dan nama jalan dalam ejaan bahasa minang saja seperti daerah “Limau Puruik” tetap ditulis dengan “Limau Puruik” sehingga apabila wisatawan datang ke sumbar ada nuansa lain dengan adanya nama-nama dearah dan nama jalan ditulis sesuai dengan ejaan minang. Pertanyaannya, apakah kita malu atau dianggap ndeso bila menulis nama-nama asli minang tersebut sesuai dengan ejaan minangnya? Apakah kita merasa ndeso bila dikeluarga kita masih menggnakan bahasa minang dalam percakapan sehari-hari? Apakah dengan bercakap dalam bahasa Indonesia dengan logat minang yang sangat kental kita merasa bukan mnejadi orang ndeso tetap menjadi keluarga berada dan intelek? Untuk menjawabnya cobalah kita bandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia bagaimana mereka memperlakukan budaya bahasa, musik asli daerah mereka tanpa mersa malu mereka di anggak ndeso. Khususnya keluarga-keluarga menengah ke atas.

Hanya sekian yang dapat saya ungkapkan dari hasil pengamatan saya, mudah-mudahan ini menjadi renungan kita untuk lebih bangga dengan jati diri ke-Minang-an kita. Sebagai daerah tujuan wisata, kita juga harus memberikan suasana kehidupan yang lebih unik sesuai adat minang yang bersandikan kitabullah (Al-Qur’an Nulkarim). Amien.. Salam dari penulis, (Sparta)

Jakarta, 24 Nopember 2008,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar